31 Maret 2016

Asuhan Keperawatan (Askep) Hernia

HERNIA

A. Pengertian

1. Hernia Abdominalis

a. Hernia Abdominalis Interna :

Antara lain hernia diafragma, hernia akuesita akibat perlekatan dan hernia kongenital ke dalam foramen Winslow, ruaang pada duodenum dan lainnya.

b. Hernia Abdominalis Eksterna :

Merupakan penonjolan abnormal ke dalam jaringan intra abdomen melalui suatu kerusakan kongenital atau akuesita pada dinding abdomen. Hernia abdominalis eksterna misalnya : Hernia inguinalis, hernia femoralis, hernia umbilikalis, hernia epigastrika, hernia insisional (Ventral) dan hernia jjenis lain termasuk hernia spigel, hernia lumbalis.

Karakteristik Hernia :
1. Reponibel : isi kantung hernia akan kembali lagi ke dalam abdomen secara spontan atau dengan tekanan manual.

2. Inkarserata (irreponibel) : isi kantung tidak dapaat kembali lagi ke dalam abdomen meski ditekan dengan tangan.
3. Strangulasi : keadaan dimana aliran darah yang menuju sisi kantung membahayakan.

4. Hernia Richter : bagian lengkung usus mengalami inkarserata dalam kantung hernia.

2. Hernia Inguinalis

Penonjolan yang terjadi pada paha akibat masuknya Visera abdomen melalui anulus inguinal profundus atau segitiga hesselbach.


B. Etiologi

1. Prosesus vaginalis persisten

2. Kegemukan
3. Usia Lanjut
4. Batuk terus menerus
5. Keadaan yang secara kronis meningkatkan tekanan intra abdomen

C. Patofisiologi






** Terbentuk oleh ligamentum inguinal (pada bagian belakang), pembuluh epigastrika inferior (pada bagian lateral dan superior) serta pinggir otot rektus : pada bagian medial.

D. Manifestasi Klinis

a. Terdapat masa didaerah pangkal paha reponibel atau inkaserata, kadang sampai ke daerah skrotum
b. Pada anak laki-laki yang lebih besar dan pria ketika skrotum dimasuki jari telunjuk dan jari-jari lain ditempatkan melalui ambuy inguinal eksterna, dimana klien diinstruksikan untuk mengejan, maka akan teraba kantung hernia seperti struktur bagaikan balon
c. Pada hernia indirek ditemukan masa elips yang berjalan turun dan miring kedalam kanal inguinal, mungkin dapat juga masuk ke skrotum
d. Ditemukan penonjolan pada skrotum, dapat membesar dan semakin menonjol jika batuk, defekasi, mengangkat beban berat, rasa tidak enak di pangkal paha, terutama bila hernia membesar.

Sliding Hernia Inguinalis
Merupakan jenis hernia dimana organ membentur sebagian dinding posterior hernia. Organ tersebut mungkin sekum, kolon sigmoid, ovarium atau mungkin kantong kencing.

Hernia Femoralis

Keadaan dimana kantung hernia masuk ke dalam kanalis femoralis pada sisi medial dari vena femoralis bagian bawah ligamentum inguinale. Lebih sering dijumpai pada wanita. Masa teraba atau terlihat di sebelah medial atas paha, atau mungkin biasa sampai ke atas ligamentum inguinale sehingga sulit dibedakan dari hernia inguinalis. Hernia ini cenderung mengalami inkarserasi dan strangulasi.

Hernia Umbilikalis
Setelah penutupan spontan cincin umbilikalis pada bayi, beberapa orang bisa lambat laun membentuk pelebaran cincin dan pembentukan hernia umbikalisdengan masuknya omentum.



Hernia Epigastrika

Merupakan penonjolan melalui linea alba pada abdomen bagian atau hernia insisional (Ventral). Dehisensi pada insisi abdomen berakibat terjadinya hernia infeksi, kesalahan teknik dan penyakit yang berkaitan dengan (obesitas malnutrisi) merupakan hernia insisional yang paling sering terjadi.

Hernia Lain

1. Hernia Spigel

Hernia melalui linea semilunaris dimana lapisan-lapisan fasia muskulus obligus abdominalis bersatu membentuk vagina muskulus rektus abdominalis.

2. Hernia Lumbalis

Hernia melalui salah satu trigonum lumbal pada dinding posterior abdomen.

3. Hernia Littre
Merupakan hernia abdominalis eksterna yang hanya mengandung divertikulum meckel.

E. Pemeriksaan Penunjang

Dilakukan untuk mempersiapkan pembedahan seperti :
1. Laboratorium
2. Foto Thoraks
3. EKG (Elektro Kardio Grafi)

F. Penatalaksanaan Medis
Secara umum dilakukan pembedahan terutama pada kasus inkarserata akut, obstruksi atau stangulasi harus dilakukan segera dengan metode : ligasi tinggi kantung hernia, perbaikan bassini, perbaikan Halstead, perbaikan Mc. Val atau perbaikan latheissen dan perbaikan houldice. Bila terjadi penyakit pernafasan dan penyumbatan urogolis yang menyertai harus ditangani terlebih dahulu. Pembedahan abdomen dapat dilakukan bila terjadi strangulasi.

G. Komplikasi

1. Inkarserata
2. Obstruksi usus
3. Strangulasi

H. Pathway



I. Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian


a. Identitas Pasien

b. Riwayat Kesehatan

1). Keluhan utama
2). Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
3). Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
4). Riwayat Penyakit Keluarga

c. Pola Kesehatan Fungsional

1). Pemeliharaan Kesehatan
2). Pola Nutrisi dan Metabolik
3). Pola Eliminasi
4). Aktivitas dan Latihan
5). Pola Persepsi dan Kognitif
6). Pola Istirahat dan Tidur
7). Konsep Diri
8). Pola Peran dan Hubungan
9). Pola Reproduksi dan Seksual
10). Pola Pertahanan dan Koping
11). Keyakinan dan Nilai

d. Pemeriksan Fisik (Head to toe) :

1). Keadaan umum meliputu : Kesadaran, GCS
2). TTV (Tanda-tanda vital)
3). Pemeriksaan head to toe :
a). Kepala dan Leher
b). Dada dan Thorax
c). Abdomen
d). Genitalia
e). Ekstremitas atas dan bawah

e. Pemeriksaan Penunjang


f. Terapi farmakologik dan Non Farmakologik


2. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul


a. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan sekunder akibat dari tindakanpembedahan (agen cidera fisik)

b. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat
c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan dengan nyeri
d. Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik usus
e. Resiko infeksi berhubungan dengan paparan dengan lingkungan patogen



DAFTAR PUSTAKA



Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta :EGC, 2001 (buku asli diterbitkan tahun 1996)

Doengoes, M. E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans : Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa : Kariasa, I.M. Jakarta : EGC, 2000 (buku asli diterbitkan tahun 1993)

25 Maret 2016

Asuhan Keperawatan (Askep) Hemoroid

HEMOROID

A. Pengertian

Hemoroid adalah bagian vena yang berdilatasi dalam kanal anal (Smeltzer, 2002). Hemoroid dibagi menjadi 2 macam yakni internal hemoroid dan eksternal Hemoroid.

B. Etiologi

Hemoroid internal dan eksternal bisa disebabkan oleh kelemahan katup vena plexus hemoval superior.Hemoroid interna kebanyakan disebabkan oleh portal hipertension. 

Penyebab yang lain karena konstipasi, diare & kongestive heart failure (gagal jantung), dan berdiri atau duduk dalam waktu lama.

C. Patofisiologi

Mengejan selama BAB dapat meningkatkan tekanan intra abdomen dan menekan vena pleksus hemoroids ketika rektum terisi oleh kotoran atau feces, trombosis dan bisa terjadi pendarahan.

Hemorois eksternal dihubungkan dengan nyeri hebat akibat inflamasi dan edema yang disebabkan oleh trombosis. Trombosis adalah pembekuan darah, dalam Hemoroid pembekuan darah dapat menimbulkan iskemia pada area tersebut dan nekrosis.





D. Manifestasi Klinis

1. Nyeri pada waktu defekasi (BAB), duduk dan berjalan
2. Perdarahan (merah segar) pada saat defekasi
3. Prolaps

E. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Darah Lengkap
2. Pemeriksaan Rektal
3. Protos kopi
4. Sigmoidoskopi

F. Penatalaksanaan Medis

1. Insisi : Drainase darah dari hemoroid yang mengalami trombosis
2. Ligasi : mengikat hemoroid dengan karet supaya terjadi nekrosis dan akan lepas dengan sendirinya
3. Hemorhoidectomy :
a. Eksisi terhadap Hemoroid
b. Infeksi : Larutan untuk membuat skeloris di infeksi ke dalam daerah sub mukosa.

G. Komplikasi

1. Perdarahan / bleeding : bila terjadi dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan anemia.
2. Thrombosis  yang akan menyebabkan rasa nyeri terus menerus.
3. Hemoroid stangualat, terputusnya aliran darah oleh sfingter ini dapat menyebabkan thrombosis.

H Pathway




I. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Identitas Pasien

b. Riwayat Kesehatan

1). Keluhan utama
2). Riwayat Penyakit Sekarang
3). Riwayat Penyakit Dahulu
4). Riwayat Penyakit Keluarga

c. Pola Fungsional Kesehaatan

1). Pemeliharaan Kesehatan Pasien
2). Nutrisi dan Metabolik
3). Pola Eliminasi
4). Pola Aktivitas dan Latihan
5). Pola Persepsi & Kognitif
6). Istirahat dan Tidur
7). Pola Konesp Diri
8). Hubungan dan Peran
9). Reproduksi dan Seksual
10). Pola Pertahanan dan Koping
11). Pola Keyakinan dan Nilai

d. Pemeriksaan Fisik

1). Keadaan Umum : Kesadaran, GCS, dan status neurologis pasien
2). Tanda-Tanda Vital
3). Pemerriksaan Head to toe :
a). Kepala dan leher
b). Dada atau thorax
c). Abdomen
d). Genitalia
e). Ekstremitas (atas dan bawah)

e. Pemeriksaan Penunjang

f. Terapi Medis dan Tradisional

2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul

a. Nyeri akut behubungan dengan iritasi pada usus
b. Risiko defisit volume cairan berhubungan dengan faktor risiko perdarahan saat buang air besar (BAB).
c. Cemas (ansietas) berhubungan dengan rencana tindakan operasi
d. Gangguan pola istirahat dan tidur berhubungan dengan nyeri pada anus
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi 


DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta :EGC, 2001 (buku asli diterbitkan tahun 1996)
Doengoes, M. E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans : Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa : Kariasa, I.M. Jakarta : EGC, 2000 (buku asli diterbitkan tahun 1993)



19 Maret 2016

Asuhan Keperawatan (Askep) Glukoma / Glaukoma Terlengkap

GLUKOMA / GLAUKOMA

A. Pengertian

Glukoma adalah suatu penyakit yang memberikan gambaran klinis berupa peninggian tekanan bola mata, penggaungan pupil saraf optik dengan defek lapang pandang mata (Sidarta, 2000).

Glukoma adalah sekelompok kelainan mata yang ditandai dengan peningkatan tekanan intraokuler (Long Barbara, 1996).




B. Etiologi

Penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan intraokuler ini disebabkan oleh :
1. Bertambahnya produksi cairan mata oleh badan ciliary
2. Berkurangnya pengeluaran cairan mata didaerah sudut bilik mata atau di celah pupil 
3. Pemakaian obat-obatan midriatik
4. Berdiam lama ditempat yang gelap
5. Hifema, katara, uveitis dengan suklusio atau oklusio pupil
6. Pasca pembedahan intraokuler
7. Diabetes Militus (DM), arteriosclerosis, pemakaian kortikosteroid jangka panjang, myopia tinggi dan progresif.
Klasifikasi Glukoma / Glaukoma

1. Glukoma Primer

a. Glukoma sudut terbuka

Merupakan sebagian besar dari glaucoma (90 - 95 %) yang meliputi kedua mata. Timbulnya kejadian dan kelainan berkembang secara lambat. Disebut sudut terbuka karena humor aguos mempunyai pintu terbuka ke jaringan trabekular, saluran schleem, dan saluran yang berdekatan. Perubahan saraf optik juga dapat terjadi. Gejala awal biasanya tidak ada, kelainan diagnosa dengan peningkatan TIO dan sudut anterior normal. Peningkatan tekanan dapat dihubungkan dengan nyeri mata yang timbul.

b. Glukoma sudut tertutup

Disebut sudut tertutup karena ruang anterior secara anatomis menyempit sehingga iris terdorong ke depan, menempel ke jaringan trabekuler dan menghambat humor aquos mengalir ke saluran schleem. Pergerakan iris kedepan dikarenakan peningkatan tekanan vitreus, penambahan cairan diruang posterior atau lensa yang mengeras karena usia tua. Gejala yang timbul dari penutupan yang tiba-tiba dan peningkatan TIO., Dapat berupa nyeri yang berat dan penglihatan yang kabur. Penempelan iris menyebabkan dilatasi pupil, bila tidak segera ditangani akan terjadi kebutaan dan nyeri hebat.

2. Glukoma Sekunder

Dapat terjadi dari peradangan mata, perubahan pembuluh darah dan trauma. Dapat mirip dengan sudut terbuka atau tertutup tergantung pada penyebab :
a. Perubahan lensa
b. Kelainan Uvea
c. Trauma
d. Bedah

3. Glukoma Kongenital

a. Primer atau infantil
b. Menyertai kelainan kongenital lainnya

4. Glukoma Absolut

Merupakan stadium terakhir glukoma (sempit atau terbuka) dimana sudah terjadi kebutaan total akibat tekanan bola mata memberikan gangguan funsi lanjut. Pada gllukoma absolut kornea terlihat keruh, bilik mata dangkal, pupil atropi dengan eksvasi glaukomatosa, mata keras seperti batu dan dengan rasa sakit. Mata dengan glukoma ini sering mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah sehingga menimbulkan penyulit berupa neovaskulisasi pada iris. Keadaan ini menimbulkan rasa sakit sekali akibat timbulnnya glukoma hemoragik.

Glukoma Berdasarkan Lamanya :

a. Glukoma Akut

Glukoma akut adalah penyakit mata yang disebabkan oleh tekanan intraokuler yang meningkat mendadak sangat tinggi. 
Dapat tejadi primer yaitu timbul pada mata yang memiliki bakat bawaan atau sekunder sebagai skibat penyakit mata yang lain.

b. Glukoma Akut

Adalah penyakit mata dengan gejala peningkatan tekanan bola mata sehingga terjadi kerusakan anatomi dan fungsi mata yang permanen.

Penyakit berkembang secara lambat namun pasti. Penampilan bola mata seperti normal dan tidak mempunyai keluhan pada stadium awal (dini). Pada stadium lanjut keluhanya yaitu pasien sering menabrak karena pandangan gelap, lebih kabur, lapang pandang sempit hingga kebutaan permanen.

C. Patofisiologi


Peningkatan tekanan intra okuler menyebabkan glukoma. Glukoma muncul ketika tekanan intra okuler mencapai tingkat patologi yakni 60 -70 mmHg. Tingkat tekanan sebesar 20 -30 mmHg dalam waktu yang lama bisa mengakibatkan hilangnya penglihatan. Pada glukoma akut, tekanan yang ekstrem bisa mengakibatkan kebutaan dalam beberapa jam.

Tekanan intra okuler dipengaruhi oleh keseimbangan antara peroduksi humor aqueus dalam badan silier dengan aliran keduanya melalui pupil ke arah trabeluca kemudian ke kanal schleem. Naiknya tekanan intra okuler bisa mengakibatkan ischemia atau matinya neuron-neiron mata sehingga mengakibatkan degenerasi nervus opticus dan berakhir dengan hilangnya penglihatan.




D. Manifestasi Klinis

1. Mata terasa sanat sakit hingga mengenai sekitar mata dan daerah belakang kepala
2. Gejala gastrointestinal berupa mual dan muntah, kadang dapat mengaburkan gejala glukoma akut
3. Ketajaman penglihatan sangat menurun
4. Terdapat halo atau pelangi disekitar lampu yang dilihat
5. Konjungtiva bulbi kemotik atau edema dengan injeksi siliar
6. Edema kornea berat sehingga kornea terlihat keruh
7. Bilik mata depan sangat dangkal denga efek tyndal yang positif akibat timbulnya reaksi radang uvea
8. Pupil lebar dengan reaksi terhadap sinar yang lambat
9. Pemeriksaan funduskopi sukar dilakukan karena teerdapat kekeruhan media penglihatan
10. Tekanan bola mata sangat tinggi
11. Tekanan bola mata antara dua serangan dapat sangat normal

E. Penatalaksanaan Medis


1. Penderita dirawat dan dipersiapkan untuk operasi. Evaluasi tekanan intra okuler (TIO) dan keadaan mata. Apabila TIO tetap tidak turun, lakukan operasi segera.

2. Sebelumnya, berikan infus manitol 20 %  : 300 - 500  ml, 60 tetes permenit. Jenis operasi iridektomi atau filtrasi, ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan gonoskopi setelah pengobatan medikamentaosa.
3. Pada glukoma kronis, pasien diminta datang 6 bulan sekali, nilailah tekanan bola mata dan lapang pandang. Bila lapang padang semakin memburuk meskipun hasil pengukuran tekanan bola mata dalam batas normal, terapi ditingkatkan.

F. Pathway




G. Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian

a. Identitas Pasien

b. Riwayat Kesehatan

1). Keluhan utama
2). Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
3). Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
4). Riwayat Penyakit Keluarga


c. Pola Kesehatan Fungsional

1). Pemeliharaan Kesehatan
2). Pola Nutrisi dan Metabolik
3). Pola Eliminasi
4). Aktivitas dan Latihan
5). Pola Persepsi dan Kognitif
6). Pola Istirahat dan Tidur
7). Konsep Diri
8). Pola Peran dan Hubungan
9). Pola Reproduksi dan Seksual
10). Pola Pertahanan dan Koping
11). Keyakinan dan Nilai

d. Pemeriksan Fisik (Head to toe) :

1). Keadaan umum meliputu : Kesadaran, GCS
2). TTV (Tanda-tanda vital)
3). Pemeriksaan head to toe :
a). Kepala dan Leher
b). Dada dan Thorax
c). Abdomen
d). Genitalia
e). Ekstremitas atas dan bawah

e. Pemeriksaan Penunjang

f. Terapi farmakologik dan Non Farmakologik

2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul

a. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
b. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan penglihatan
c. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan
d. Risiko infeksi berhubungan dengan adanya luka operasi


DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta :EGC, 2001 (buku asli diterbitkan tahun 1996)Doengoes, M. E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans : Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa : Kariasa, I.M. Jakarta : EGC, 2000 (buku asli diterbitkan tahun 1993)

15 Maret 2016

Asuhan Keperawatan (Askep) Fraktur atau Patah Tulang

FRAKTUR atau PATAH TULANG

A. Pengertian


Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidayat, 2006 ; Mansjoer, 2000).
Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh karena trauma atau kekuatan fisik (Price & Wilson, 2006).

Klasifikasi fraktur :

1. Fraktur tertutup (closed) adalah apabila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
2. Fraktur terbuka (open atau compound) adalah apabila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit.




Fraktur terbuka dibagi menjadi 3 derajat :

a. Derajat I

1). Luas luka < 1 cm
2). Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk
3). Fraktur sederhana, transversal. oblik atau kominutuf ringan
4). Kontaminasi minimal

b. Derajat II

1). Luas luka > 1 cm
2). Kerusakan jaringan lunak tidak luas
3). Fraktur kominutif sedang
4). Kontaminasi sedang

c. Derajat III


Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputu struktur kulit, otot serta neurovascular dan kontaminasi derajat tinggi.

baca juga :
Askep glukoma


Deskripsi Fraktur


Untuk menjelaskan keadaan fraktur, hal yang perlu dideskripsikan yaitu :

1. Fraktur komplit atau tidak komplit

a. Fraktur Komplit : bila garis patah melalui seluruh penampang tulang / melalui kedua korteks tulang.
b. Fraktur inkomplit : tidak membagi tulang menjadi 2 dikarenakan patahan hanya terjadi pada sebagian sisi tulang

2. Bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma

a. Garis patah melintang : trauma angulasi / langsung
b. Garis patah oblik : trauma angulasi
c. Garis patah spiral : trauma rotasi
d. Fraktur kompresi : trauma aksial - fleksi pada tulang spongiosa
e. Fraktur avulsi : trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya di tulang, misalnya fraktur pada patella.

3. Jumlah garis patah

a. Fraktur kominutif : garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan
b. Fraktur segmental : garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan, bila dua garis patah disebut Bifocal
c. Fraktur multiple : garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan tempatnya misalnya: fraktur femur, Cruris serta tulang belakang

4. Bergeser atau tidak bergeser

a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser) garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser, periostenium masih utuh
b. Fraktur Displaced (bergeser) terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur

5. Terbuka - tertutup

6. Komplikasi atau tanpa komplikasi

Komplikasi dapat berupa komplikasi dini / lambat, lokal / sistemik, oleh trauma / akibat pengobatan.


Proses Penyembuhan Tulang :

1. Formasi Hematom

Dalam 24 jam proses penghentian perdarahan terjadi. Fibrin terbentuk untuk melindungi daerah fraktur. Kapiler baru terbentuk, kemudian suplai darah meningkat setelah 24 jam. Daerah yang terluka diinvasi oleh makrofag yang membersihkan area, kemudian terjadi peradangan, penebalan, serta nyeri. Perbaikan pada tahap ini ditandai dengan penurunan rasa nyeri serta penebalan.

2. Proliferasi sel

Proliferasi terjadi setelah 5 hari, bersamaan dengan itu juga terjadi diferensiasi fibrokartilago, hyaline pada daerah fraktur menjadi osteogenesis, tulang membesar, sudah mulai terbentuk jembatan fraktur. Mulai juga terbentuk fibrin diantara clot, membuat jaringan untuk revaskularisasi dan invasi fibroblast serta osteoblast. Fibroblast dan osteoblast menghasilkan kolagen serta proteoglikans untuk membentuk matrix kolagen di tempat fraktur, kemudian jaringan kartilago dan fibrosa berkembang.

3. Formasi Procallus

Sudah terbentuk matriks dan kartilago, antara matriks dan tulang sudah terbentuk jembatan, proses ini terjadi pada hari ke 6-10.

4. Ossifikasi

Terjadi kalus permanen yang kaku disebabkan terjadi deposi garam kalsium. Pertama terjadi pada eksternal kalus (antara korteks dan periosteum). Pada waktu 3 - 10 minggu kalus berubah menjadi tulang.

5. Konsolidasi dan remodeling


Terbentuk tulang yang kuat akibat aktivitas osteoblast dan osteoklast. Pembentukan tulang sesuai dengan hukum Wolff's : struktur tulang terbentuk sesuai dengan fungsinya yakni adanya tekanan dan tarikan. Waktu yang dibutuhkan sampai 1 tahun. Proses perkembangan pertumbuhan tulang dimonitor dengan pemeriksaan rontgen.

Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur :
1. Imobilisasi fragmen tulang
2. Maksimum kontak dari fragmen tulang
3. Suplai darah yang adekuat
4. Nutrisi yang baik
5. Hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D, Steroid anabolik
6. Potensial elektrik

Faktor yang menghambat penyembuhan tulang :
1. Trauma lokasi yang luas
2. Bone loss
3. Imobilisasi yang tidak adekuat
4. adanya jarak atau jaringan fragmen tulang
5. Infeksi
6. Keganasan lokal
7. Penyakit metabolik tulang
8. Nekrosis
9. Usia
10. Kortikosteroid

B. Etiologi

Fraktur atau patah tulang dapat disebabkan oleh :

1. Kecelakaan lalu lintas
2. Jatuh
3. Tumor
4. Infeksi
5. Osteoporosis
6. Olahraga
7. Beban berlebihan
8. Usia


C. Patofisiologi

Trauma yang menyebabkan patah tulang dapat berupa trauma langsung misalnya benturan pada lengan baawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna. Dapat berupa trauma tidak langsung misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula / radius distal patah.

Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan dan arahnya. Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut patah tulang terbuka. Patah tulang didekat sendi / mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.




D. Manifestasi Klinis

1. Adanya nyeri tekan
2. Bengkak
3. Gerakan terbatas
4. Krepitasi
5. Adanya deformitas tulang
6. Adanya gangguan fungsi organ

E. Pemeriksaan Penunjang

Dilakukan pemeriksaan radiologi untuk mengetahui lokasi dan berat ringannya fraktur.

F. Penatalaksanaan Medis


Fraktur biasanya menyertai trauma, untuk itu penting melakukan pemeriksaan terhadap jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), dan sirkulasi (circulation), Apakah terjadi syik atau tidak. Bila dinyatakan sudah tidak ada masalah lagi baru dilakukan anamnesa serta pemeriksaan fisik secara terperinci, cepat , singkat, dan lengkap. Tanyakan waktu terjadinya kecelakaan mengingat golden period 1- 6 jam. Lakukan foto radiologi & pemasangan bidai untuk mengurangi rasa sakit & mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat.

Pengobatan Fraktur :


1. Dengan proteksi tanpa imobilisai

Misalnya : patah tulang rusuk, patah tulang klavikula pada anak & pada patah tulang vertebra dengan kompresi minimal.
2. Imobilisasi dengan fiksasi/ imobilisasi luar tanpa reposisi tetapi tetap memerlukan imobilisasi supaya tidak terjadi dislokasi fragmen, misalnya : patah tulang tungkai bawah tanpa dislokasi yang berarti.
3. Reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi, misalnya patah tulang radius distal.
4. Reposisi dengan traksi terus menerus selama masa tertentu, diikuti dengan imobilisasi.
5. Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar (fiksator ekstern).
6. Reposisi secara non operatif diikuti dengan pemasangan fiksasi dalam pada tulang secara operatif (pemasangan pen), misalnya patah tulang kolum femur. 
7. Reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi patah tulang dengan pemasangan fiksasi interna (pemasangan pen / plat dengan skrup), misalnya : patah tulang femur, tibia, humerus, lengan bawah.
8. Eksisi fragmen patahan tulang & menggantinya dengan protesis, yang dilakukan pada patah tulang femur tidak dapat menyambung kembali.

G. Komplikasi

1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan arteri
b. Kompartemen Sindrom
c. Fat embolism sindrom
d. Infeksi
e. Avaskuler nekrosis
f. Syok

2. Komplikasi dalam waktu lama
a. Delayed union
b. Nonunion
c. Malunion

H. Pathway




I. Rencana Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Identitas Pasien

b. Riwayat Kesehatan

1). Keluhan Utama
2). Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
3). Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
4). Riwayat Penyakit Keluarga

c. Pola Fungsional Kesehatan (GORDON)

1). Pemeliharaan Kesehatan
2). Pola Nutrisi dan Metabolik
3). Pola Eliminasi
4). Aktivitas dan Latihan
5). Pola Persepsi dan Kognitif
6). Pola Istirahat dan Tidur
7). Konsep DIri
8). Pola Peran dan Hubungan
9). Pola Reproduksi dan Seksual
10). Pola Pertahanan dan Koping
11). Keyakinan dan Nilai

d. Pemeriksaan Fisik (head to toe)

1). Keadaan Umum
2). Tanda-tanda Vital (TTV)
3). Pemeriksaan Head to toe :
a). Kepala dan leher
b). Dada dan Thorax
c). Adomen
d). Genitalia
e). Ekstremitas

e. Pemeriksaan Penunjang

f. Terapi (medis atau herbal)

2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul

a. Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan & tulang
b. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat (trauma jaringan)
c. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuluskeletal dan neuromuskular
d. Resiko syok hipovolemik


DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta :EGC, 2001 (buku asli diterbitkan tahun 1996)
Doengoes, M. E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans : Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa : Kariasa, I.M. Jakarta : EGC, 2000 (buku asli diterbitkan tahun 1993)

09 Maret 2016

Asuhan Keperawatan (Askep) Fibroadenoma Mammae / ca mamae

FIBROADENOMA MAMMAE




A. Pengertian

Fibroadenoma Mammae adalah tumor jinak yang paling sering terjadi pada wanita. Tumor ini terdiri dari gabungan antara kelenjar glandula dan fibrosa. Secara Histologi :

Intracanalicular fibro adenoma, fibro adenoma pada payudara yang secara tidak teratur dibentuk dari pemecahan antara stroma fibrosa yang mengandung serat jaringan epitel.

Pericanalicular fibro adenoma , fibroadenoma pada payudara yang menyerupai kelenjar atau kista yang dilingkari oleh jaringan epitel pada satu atau banyak lapisan.

Tumor ini dibatasi letaknya dengan jaringan mammae oleh suatu jaringan penghubung.

Fibroadenoma Mammae timbul akibat pengaruh kelebihan hormon estrogen. Fibroadenoma Mammae dibedakan menjadi 3 macam :

1. Common fibroadenoma
2. Giant fibroadenoma yang umumnya berdiameter lebih dari 5 cm
3. Juvenile fibro adenoma pada remaja

baca juga :


B. Etiologi

Fibroadenoma Mammae terjadi akibat kelebihan hormon estrogen. Biasanya ukurannya akan meningkat pada saat menstruasi atau pada saat hamil karena produksi hormon estrogen meningkat.

C. Patofisiologi

Makroskopi : tampak bulat, elastis dan nodular, serta permukaan berwarna putih keabuan.

Mikroskopi : epitel proliferasi tampak seperti kelenjar yang dikelilingi oleh stroma fibroblastic yang khas (intracanalicular dan pericanalicular fibro adenoma).

D. Manifestasi Klinis


Pertumbuhan Fibroadenoma Mammae umumnya tidak menimbulkan rasa sakit, hanya ukuran dan tempat pertumbuhannya yang menyebabkan nyeri pada mammae. Pada saat disentuh kenyal seperti karet. 

E. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

a. Laju Endap Darah (LED) meningkat
b. Serum alkali pospalse meningkat
c. Hipercalsemia

2. X-Ray Mammay (Mammogram), Ultrason Mammay

3. Biopsi Mammay

F. Penatalaksanaan Medis


Karena Fibroadenoma Mammae (FAM) adalah tumor jinak maka pengobatan yang dilakukan tidak perlu dengan pengangkatan mammae (payudara). Yang perlu diperhatikan adalah bentuk dan ukurannya saja. Pengangkatan mammae harus memperhatikan beberapa faktor yaitu faktor fisik dan psikologi pasien. Apabila ukuran dan lokasi tumor tersebut menyebabkan rasa sakit dan tidak nyaman pada pasien maka diperlukan pengangkatan.

G. Komplikasi

Kompikasi dari Fibro Adenoma Mammae adalah Carsinoma /Kanker.

H. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Identitas Pasien

b. Riwayat Kesehatan

1). Keluhan utama
2). Riwayat Penyakit Sekarang
3). Riwayat Penyakit Dahulu
4). Riwayat Penyakit Keluarga

c. Pola Fungsional Kesehaatan

1). Pemeliharaan Kesehatan Pasien
2). Nutrisi dan Metabolik
3). Pola Eliminasi
4). Pola Aktivitas dan Latihan
5). Pola Persepsi & Kognitif
6). Istirahat dan Tidur
7). Pola Konesp Diri
8). Hubungan dan Peran
9). Reproduksi dan Seksual
10). Pola Pertahanan dan Koping
11). Pola Keyakinan dan Nilai

d. Pemeriksaan Fisik

1). Keadaan Umum : Kesadaran, GCS, dan status neurologis pasien
2). Tanda-Tanda Vital
3). Pemerriksaan Head to toe :

a). Kepala dan leher
b). Dada atau thorax
c). Abdomen
d). Genitalia
e). Ekstremitas (atas dan bawah)

e. Pemeriksaan Penunjang

f. Terapi Medis dan Tradisional

2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul

a. Nyeri berhubungan dengan efek luka pembedahan
b. Ansietas tingkat sedang berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang pentingnya operasi
c. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang tindakan operasi


DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta :EGC, 2001 (buku asli diterbitkan tahun 1996)
Doengoes, M. E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans : Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa : Kariasa, I.M. Jakarta : EGC, 2000 (buku asli diterbitkan tahun 1993)

05 Maret 2016

Asuhan Keperawatan (Askep) Cedera Kepala / Trauma Kepala

ASKEP CEDERA KEPALA



A. Pengertian

Cedera kepala adalah adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi - decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, dan notasi yakni pergerakan pada kepala dirasakan oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Samsuhidayat, 2006).

The Traumatic Coma Data Bank, mengklasifikasikan derajat trauma kepala berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale (GCS) nya, yakni :

1. Cedera Kepala Ringan

Karakteristiknya :

a. Nilai GCS = 13 - 15
b. Mungkin bisa terjadi penurunan kesadaran atau disebut amnesia, < 30 menit
c. Tidak terjadi fraktur cranial, kontusio, maupun hematoma

2. Cedera Kepala Sedang

Karakteristiknya :

a. Nilai GCS = 9 - 12
b. Tidak sadar atau mengalami amnesia, > 30 menit, tapi < 24 jam
c. Kemungkinan terdapat fraktur cranial

3. Cedera Kepala Berat

Karakteristiknya :

a. Nilai GCS = 3 - 8
b. Tidak sadar atau mengalami amnesia > 24 jam
c. Terdapat kontusio serebri, laserasi dan hematoma intraserebral


B. ETIOLOGI


Penyebab utama dari trauma kepala atau cedera kepala adalah kecelakaan lalu lintas meliputi kendaraan bermotor baik sepeda motor maupun mobil yang biasanya disertai dengan kasus penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang. Penyebab lainnya bisa juga jatuh dari ketinggian, korban kejahatan, dan akibat dari olahraga yang tidak aman.

Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler akan menyebabkan pembuluh darah arteriol berkontraksi. Pengaruh dari persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.

Cedera kepala menurut patofisiologi dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Cedera Kepala Primer

Akibat langsung pada mekanisme dinamik (accelerasi - decelerasi rotasi) yang menyebabkan pada gangguan jaringan.

Pada cedera primer dapat terjadi :

a. Gegar kepala ringan
b. Memar otak
c. Laserasi

2. Cedera Kepala Sekunder

Perdarahan yang sering ditemukan :

a. Epidoral Hematoma

Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak serta durameter disebabkan pecahnya pembuluh darah atau cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri oleh sebab itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 atau 2 hari. Lokasi paling sering yakni di lobus temporalis serta parietalis.

Gejala-gejala yang terjadi :

1). Penurunan tingkat kesadaran
2). Nyeri kepala
3). Muntah
4). Hemiparesis
5). Dilatasi pupil ipsilateral
6). Pernafasan dalam cepat kemudian dangkal dan irreguler
7). Penurunan nadi
8). Peningkatan suhu

b. Subdural Hematoma

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, bisa terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena atau jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam sampai 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.

Tanda-tanda dan gejalanya adalah :

1). Nyeri kepala
2). Penurunan kesadaran
3). Komplikasi pernafasan
4). Hemiplegia kontra lateral
5). Dilatasi pupil
6). Perubahan tanda-tanda vital (TTV)
7). Perdarahan subarachnoid

Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.

Tanda dan gejalanya :

1). Nyeri kepala
2). Penurunan kesadaran
3). Hemiparese
4). Dilatasi pupil ipsilateral
5). Kaku kuduk

D. Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala trauma atau cedera kepala akan sangat berbeda tergantung dari lokasi dan derajat trauma itu sendiri. Tanggung jawab perawat adalah mengkaji data dasar guna mendeteksi dan mencegah terjadinya : 

1. Peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK)
2. Hipotensi Sistemik
3. Hipoksia
4. Hipercapnia (mengindikasikan peningkatan Co2)

E. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus, tetapi untuk monitoring kadar O2 dan Co2 dalam tubuh dilakukan pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD), pemeriksaan DPL, glukosa dan elektrolit untuk memantau keadaan hemodinamik dan keseimbangan elektrolit.

2. Pemeriksaan radiologi

a. CT scan: mengidentifikasi adanya SOL, hemoragik, menentukan pergeseran jaringan otak
b. Rontgen Kranial : mendeteksi adanya fraktur, pergeseran struktur tulang
c. Rontgen Cervical : mendeteksi adanya fraktur dan dislokasi cervikal
d. MRI : sama dengan CT scan dengan atau tanpa kontras
e. Angiografi serebral : menunjukan kelainan sirkulasi serebral dan perdarahan
f. Lumbal pungsi : mengetahui kemungkinan adanya perdarahan subarahnoid

F. Penatalaksanaan Medik

Menurut Luckman & Sorensen (1987), secara umum prinsip penanganan klinik pada cedera kepala adalah sebagai berikut :

1. Pastikan jalan nafas adekuat
2. Cegah aspirasi
3. Awasi tanda-tanda syok seperti: nadi, tekanan darah, dan suhu
4. Cek adanya injury spinal
5. Awasi adanya injury tulang tengkorak
6. Cegah terjadinya infeksi
7. Awasi adanya kebocoran CSF
8. Awasi status neurologis dan tanda-tanda vital (TTV) secara erkala
9. Awasi adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial (TIK)
10. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, asam basa, intake serta output
11. Observasi adanya kejang, serta cegah terjadinya kejang
12. Lakukan bed rest, cegah komplikasi dari bed rest dan penurunan kesadaran
13. awasi adanya tanda-tanda sequele

G. Komplikasi

Komplikasi dari cedera kepala adalah :

1. Peningkatan Tekanan Intra Kranial

Dapat menyebabkan penekanan pada batang otak, herniasi sampai teerjadi kematian.

2. Edema paru

Vasokonstriksi yang terjadi pada tubuh sebagai akibat dari peningkatan TIK mengakibatkan meningkatnya volume darah yang masuk ke dalam paru-paru, sehingga terjadi gangguan pertukaran gas O2 dan Co2 pada paru.

3. Kejang

Komlikasi kejang sering terjadi pada trauma tusuk kepala, intracerebral hematom, subdural hematom, dan fraktur depresi tulang tengkorak.

4. Kebocoran CSF

Komplikasi ini paling jarang terjadi, kebocoran ini dikarenakan adanya fraktur pada fossa anterior di daerah dekat sinus yang berasal dari fraktur basis krani.

H. Pathway





I. Rencana Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Identitas pasien

b. Pengkajian primer

1). Airway
2). Breathing
3). Circulation
4). Disability
5). Exposure

c. Pengkajian sekunder


1). Riwayat Kesehatan (Riwayat penyakit sekarang (RPS), riwayat penyakit dahulu (RPD), Riwayat pengobatan, riwayat alergi, riwayat keluarga)
2). Pemeriksaan fisik (Head to toe)
3). Pemeriksaan penunjang
4). Therapi (farmakologik dan non farmakologik)

2. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul

a. Perfusi jaringan cerebral tidak efektif berhubungan dengan tidak sebanding antara ventilasi dengan aliran darah ke otak.
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskular akibat hipoksia
c. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuscular akibat penumpukan sekret
d. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan TIK.



DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta :EGC, 2001 (buku asli diterbitkan tahun 1996)
Doengoes, M. E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans : Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa : Kariasa, I.M. Jakarta : EGC, 2000 (buku asli diterbitkan tahun 1993)

03 Maret 2016

Askep Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) Terlengkap

Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

A. Pengertian

Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar non neoplastik. Didefinisikan sebagai pertumbuhan nodula-nodula fibroadenomatosa majemuk dalam prostat (Soebadi D.M, 2002 : 24).
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah suatu kelainan yang mengganggu urinari yang disebabkan adanya kelenjar hyperplasia "periuretra" yang mendesak jaringan prostat yang asli dan menjadi simpai bedah (Mansjoer, 2000 : 523).
Berdasarkan pendapat para ahli tentang BPH (Benigna Prostat Hiperplasia), maka dapat diambil kesimpulan bahwa BPH adalahsuatu kelainan pembesaran kelenjar non neoplastik sebagai pertumbuhan nodula-nodula fibroadenomatosa  majemuk dalam prostat yang mengganggu urinari yang disebabkan adanya kelenjar hiperplasia "periuretra" yang mendesak jaringan prostat yang asli dan menjadi simpai bedah.



B. Etiologi


Hingga saat ini belum diketahui secara pasti penyabab terjadinya hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan penuaan (aging) Nasution, 2000 : 205).

Menurut Rahardjo (2002 : 238) ada beberapa teori / hipotesis yang diduga sebagai penyebab terjadinya hiperplasia prostat, yaitu :

1. Teori Hormonal

Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak terjadi BPH, juga terjadinya regrasi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain androgen (testosteron / DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH. 

Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi testosteron menurun & terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer yang kemudian estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma.

baca juga :

2. Toeri Growth Faktor (Faktor Pertumbuhan)


Peran dari growth faktor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat. Terdapat empat peptik growth faktor yaitu : basic transforming growth faktor, transforming 2, epidermal growth B1 (beta 1), transforming growth faktor B (beta) growth faktor.


3. Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-Sel Prostat Karena Berkurangnya Sel yang Mati

4. Teori Sel Stem (Stem Cell Hypothesis)

Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan "steady state", antara pertumbuhan sel & sel yang mati, 
Keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat menyebabkan produksi / proliferasi sel stroma & sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.

5. Teori Dihydro Testosteron (DHT)

Testosteron yang dihasilakan oleh sel leydig pada testis (90%) & sebagian dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah serta 98% akan terikat oleh globulin menjadi Sex Hormon Binding Globulin (SHBG). Sedangkan hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas. 

Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam "target cell" yakni sell prostat melewati membran sel langsung masuk ke dalam sitoplasma, didalam sel testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5 dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi "hormone receptor complex".

Kemudian hormon reseptor kompleks ini mengalami transformasi reseptor, menjadi "nuclear receptor" yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin & menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein mengakibatkan terjadinya pertumbuhan kelejar prostat.

6. Teori Reawakening

Lesi pertama bukan pembesaran stroma pada kelenjar peri uretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme "glandular budding" kemudian bercabang yang menyebabkan timbulanya alveoli pada zona pre prostatik. 

Persamaan epiteleal budding & "glandular morphogenesis" yang terjadi pada embrio dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan adanya "reawakening" yakni jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan peri uretral dapat tumbuh lebih cepat dari pada jaringan sekitarnya.

Selain teori-teori diatas masih banyak lagi teori yang menerangkan tentang penyebab terjadinya BPH seperti: teori tumor jinak, teri rasial dan faktor sosial, teori infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori yang berhubungan dengan aktifitas hubungan seks, teori peningkatan kolesterol, dan Zn yang semuanya masih belum jelas hubungan sebab-akibatnya. 
(Rochani, 2000 : 97).


C. Patofisiologi

Purnomo B.P (2000: 127) serta Purnomo B.B (2000 : 213) mengemukakan bahwa BPH diperkirakan mempunyai hubungan dengan keseimbangan hormonal, walaupun mekanisme yang tepat belum diketahui secara pasti. 

Dengan meningkatnya umur seseorang, terjadi penurunan kadar hormon androgen disertai naiknya hormon estrogen secara relatif. Estrogen juga meningkatkan sensitivitas jaringan prostat terhadap androgen. Kelenjar prostat bagian peri uretra / sentral yang responsif terhadap hormon estrogen akan mengalami hyperplasia.

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. 

Kontraksi yang terus-menerus akan menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli & perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih bagian bawah / lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.

Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk kedalam fase dekompensasi & akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urine. Tekanan intra vesikal yang semakin tinggi akan diteruskan keseluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. \

Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.

D. Manifestasi Klinis


Priyanto (2002 : 43), mengemukakan bahwa tanda dan gejala yang timbul disebabkan oleh dua hal yakni obstruksi dan iritasi yang dapat berupa :

1. Gejala pertama dan paling dering ditemukan adalah berkurangnya kekuatan pancaran dan kaliber aliran urine, disebabkan lumen uretra mengecil dan tahanan didalam uretra mengecil serta meningkat, sehingga kandung kemih harusmemberikan tekanan yang lebih besar untuk dapat mengeluarkan urine.

2. Sulit memulai kencing (hesitancy) menunjukan adanya pemanjangan periode laten, sebelum kandung kemih dapat menghasilkan tekanan intra-vesika yang cukup tinggi.

3. Diperlukan waktu yang lebih lama untuk mengosongkan kandung kemih, jika kandung kemih tidak dapat mempertahankan tekanan yang tinggi saat berkemih, aliran urine dapat berhenti dan dribbling (urine menetes setelah berkemih) bisa terjadi.

4. Otot-otot kemih menjadi lemah dan kandung kemih gagal mengosongkan urine secara sempurna, sejumlah urine tertahan dalam kandung kemih sehingga menimbulkan sering berkemih dan sering berkemih pada malam hari (nokturia).

5. Infeksi yang menyertai residual urine akan memperberat gejala, karena akan menambah obstruksi akibat inflamasi sekunder dan edema.

6. Residual urine juga dapat sebagai faktor predisposisi terbentuknya batu kandung kemih.

7. Bladder outlet obstruction ataupun overdistensi kandung kemih juga dapat menyebabkan refluks vesikoureter dan sumbatan saluran kemih bagian atas yang akhirnya menimbulakan hydroureteronephrosis.

8. Hematuri sering terjadi karena pembesaran prostat mengakibatkan pembuluh darah menjadi rapuh.

9. Bila obstruksi cukup berat, dapat menimbulkan gagal ginjal (renal failure) dan gejala-gejala uremia berupa mual, muntah, somnolen, atau disorientasi, mudah lelah dan penurunan berat badan (BB).

E. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

a. Darah lengkap
b. Urine : kultur urine dan sensitifitas test urinalis
c. Pemeriksaan pre operasi : DR, kimia darah, BT, CT, EKG, dan Rontgen thorak.

2. Pemeriksaan Pencitraan

a. Foto polos abdomen (BNO)
b. Pielografi Intravena (IVP)
c. Sistogram retrograde
d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)

3. Pemeriksaan Lain


a. Uroflowmetri : untuk mengukur laju pancaran urine miksi
b. Pemeriksaan tekanan pancaran (Pressure Flow Studies) dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram.
c. Pemeriksaan volume residu urine.

F. Pathway





G. Rencana Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Identitas Pasien

b. Riwayat Kesehatan

1). Keluhan utama
2). Riwayat Penyakit Sekarang
3). Riwayat Penyakit Dahulu
4). Riwayat Penyakit Keluarga

c. Pola Fungsional Kesehaatan

1). Pemeliharaan Kesehatan Pasien
2). Nutrisi dan Metabolik
3). Pola Eliminasi
4). Pola Aktivitas dan Latihan
5). Pola Persepsi & Kognitif
6). Istirahat dan Tidur
7). Pola Konesp Diri
8). Hubungan dan Peran
9). Reproduksi dan Seksual
10). Pola Pertahanan dan Koping
11). Pola Keyakinan dan Nilai

d. Pemeriksaan Fisik

1). Keadaan Umum : Kesadaran, GCS, dan status neurologis pasien
2). Tanda-Tanda Vital
3). Pemerriksaan Head to toe :
a). Kepala dan leher
b). Dada atau thorax
c). Abdomen
d). Genitalia
e). Ekstremitas (atas dan bawah)
e. Pemeriksaan Penunjang
f. Terapi Medis dan Tradisional

2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


a. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang prosedur pembedahan
b. Nyeri berhubungan dengan retensi urine, terputusnya kontinuitas jaringan kulit pasca pembedahan
c. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan
d. Kerusakan eliminasi urine berhubungan dengan retensi urine
e. Retensi urine berhubungan dengan obstruksi traktus urinarius
f. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik


DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta :EGC, 2001 (buku asli diterbitkan tahun 1996)
Doengoes, M. E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans : Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa : Kariasa, I.M. Jakarta : EGC, 2000 (buku asli diterbitkan tahun 1993)